07/02/09

Menggugat Kekisruhan Lemma Cartesian

Reintroduksi Pemikiran Prof. DR. Hidayat Nataatmadja (Alm)

Oleh : Firman Wijaya ¹

Ketika mendengar nama Rene Des Cartes, alam sadar kita pasti teringat akan diktum yang berbunyi “cogito ergu sum” yang berarti “saya berpikir, karena itu saya ada”. Tapi apakah benar bahwa eksistensi manusia selalu disertai dengan aktifitas berpikir yang didiktumkan Des Cartes tersebut atau mungkin kontra produktif dengan diktum tersebut.

Berpikir merupakan fi’ il (kata kerja) yang mustahil dipisahkan dengan fa’ il (orangnya) . Tapi disisi lain “ilmu” itu merujuk kepada “kata benda” yang secara ontologis dapat dipisahkan dari fa’ il. Sehingga “ilmu” itu dapat dijadikan “obyek” sebagai syarat mutlak bagi konsep-konsep science. Walaupun begitu “ilmu berpikir” secara epistemologis tidak ada yang kokoh berpijak pada komponen paradigma objektifitas.

Tulisan ini mencoba melakukan reintroduksi pemikiran Prof. Dr. Hidayat Nataatmadja, seorang ilmuwan dengan pemikiran yang unik cenderung "nyleneh", mungkin satu-satunya ilmuwan dengan pemikiran yang holistik. Beliau berusaha menggabungkan ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, dengan ilmu agama, khususnya Islam. Di tengah ”gembar-gembor” unifikasi dan holistikasi ilmu pengetahuan, pemikiran beliau sudah turut andil sejak awal.

Paradigma Transenden Vis a Vis Paradigma Sekuler

Paradigma merupakan dasar keilmuan -satu oktaf lebih tinggi dari ideologi. Sebenarnya paradigma bisa mengangkat makna ideologi ketempat terang, sehingga ilmuan bisa secara tuntas berbicara me- ngenai ideologi.

Pasca Thomas S. Kuhn berbicara mengenai paradigma, Barat merasa sudah menemukan alternative ideologi sehingga mereka bisa berbicara mengenai dunia post-ideology bahkan dunia post-modernism. Tentu saja paradigma yang dikonstruksi adalah paradigma yang sekuler.

Segala sesuatu yang terkait dengan paradigma transenden pasti berkaitan dengan iman, yakni keyakinan tertinggi yang dipandang benar dengan sendirinya sejauh akal manusia sanggup menjangkau kebenaran yang haq yaitu Allah SWT an sich (Nataatmadja: 1997).

Dalam term barat, “iman” dikenal dengan “dogma”. Aktifitas berpikir secara ontologis tidak bisa dipisahkan dengan dogma, termasuk berpikir “scientific” barat. Mungkin saja scientis tidak beriman tetapi mereka pasti berdogma.

Sudah jelas bahwa berbicara mengenai iman tidak ada rujukan absolute kecuali Al Qur’an dan Sunnah sehingga paradigma yang coba direkonstruksi berada dalam wawasan internal dienul islam.

Menurut Hidayat Nataatmadja (1997) ajaib jika kaum intelektual muslim menggunakan term ilmu berpikir tanpa secara eksplisit merujuk ke sumber keilmuan yang haq, yakni Al Qur’an dan Sunnah.

Mengutip term Thomas S. Kuhn–Revolusi Paradigmatis– sudah saatnya kita sebagai muslim untuk merubah total paradigma yang sekuler dengan paradigma transenden sebagai mind-set kontemporer.

Kekisruhan Lemma Cartesian

Rene Des Cartes dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. dilahirkan di La Haye, Touraine -Perancis pada 1596 dan wafat di Stockholm, Swedia pada 1650. Proses Islamisasi ilmu akan koheren dengan jalan pikiran Des Cartes, karena dialah yang meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi aliran Rasionalisme.


Pemikiran Rene Des Cartes tersebut tertuang dalam sebuah lemma yang sangat populer dan yang akan kita ”gugat” secara transenden.

Lemma adalah hukum-hukum ilmu pengetahuan yang keabsahannya sudah terbukti secara akurat. Tetapi kalau lemma itu secara eksplisit diterapkan maka konstruksi iptek yang kita kenal akan hancur berantakan (Nataatmadja: 1997).

Terdapat dua lemma cartesian yang akan kita soroti, yaitu :
1. Berpikir Mulai Dari Ragu;
2. Cogito Ergo Sum (Saya berpikir karena itu saya ada)

Alur pemikiran Des Cartes masih berbentuk lemma yang ke-shahihannya tidak diragukan tetapi implikasinya dibiarkan ”ngambang” sebagai lemma. ”Berpikir mulai dari ragu” menimbulkan sebuah tanya: ”apa yang kita ragukan”. Jawabannya adalah yang diragukan adalah ”keyakinan”. Menurut Thomas S. Kuhn, paradigma itu ”landasan dogmatika”, sehingga didapat ”berpikir mulai dari keyakinan sesuatu”. Sepintas memang ada pertentangan antara Des Cartes dengan Kuhn.

Kalimat ”saya berpikir” yang didiktumkan Des Cartes sebenarnya sangat kurang dimengerti oleh para penganutnya yang juga merupakan ilmuan barat kontemporer.

Berpikir dalam konsep Des Cartes adalah ”berpikir intransitif” (berpikir tanpa obyek). Sedangkan berpikir dalam bahasa science selalu ”berpikir obyektif” (berpikir transitif).

Dalam bahasa Al Qur’an ”berpikir intransitif” itu ”dzikir”. Akal disini diarahkan ke dunia ”noumenial kantian”. Karena itu seharusnya diktum Des Cartes dirubah menjadi ”Saya dzikir karena itu saya ada”.

Science dewasa ini tidak mengenal berpikir intransitif, sehingga jika dikaitkan dengan diktum Des Cartes, dimana objeknya kita misalkan ”anjing” maka akan menjadi, ”saya berpikir mengenai anjing, karena itu anjing ada dan karena saya anjing”.

Itulah yang akan didapat jika menggunakan alas berpikir transitif an sich, yang ada hanya menimbulkan musibah yaitu melekatnya obyek pada pikiran subyek.

Ungkapan ”Ana Al haq” tentunya akan terjadi kalau Allah SWT dijadikan objek pemikiran. Namun Allah SWT tidak dapat tersentuh oleh pikiran manusia, karena satu-satunya thariqat mengenal Allah SWT adalah ”Dzikrullah” an sich.

Dengan pertolongan Al Huda (petunjuk Allah SWT) kita mampu mengkritisi kekisruhan lemma cartesian dan dapat secara tajam melihat dimana kisruhnya iptek dewasa ini.

Dengan instrumen Al Qur’an dan Sunnah sebagai basis paradigma transenden kita siap mencari ilmu pengetahuan dan teknologi alternatif yang bisa membebaskan umat dari kejahiliyah berpikir dengan konsep ”aqidah berpikir”. [ ] wallahu’alam bissowab.


¹ Sekretaris Umum HMI Badan Koordinasi Indonesia Bagian Barat Periode 2009 M.

Mahasiswa Oh .. Mahasiswa (Diagnosa Gerakan Mahasiswa Post-Reformasi 1998 )

Bogor I AA, “ lebih baik terasing daripada menyerah kepada kemunafikan ”. Itulah yang pernah dituliskan Soe Hok Gie dibuku hariannya, yang dipertengahan 1980-an diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Catatan Sang Demonstran” yang diterbitkan LP3ES.

Mungkin itulah sekilas sosok mahasiswa yang idealis dalam melakukan perjuangannya. Hanya rakyat yang menjadi tujuan pengabdiannya. Tapi pertanyaan kritis wajib ditanyakan, apakah idealisme mahasiswa masih terjaga ?.

Pasca reformasi tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa semakin mengalami degradasi, tidak visioner, sektarian, mudah terprovokasi, temporer, inkonsistensi, bahkan cenderung terjebak pada vested interest penguasa (pragmatisme). 

Amien Rais dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa gerakan mahasiswa kini sudah “mati suri”. Tentu thesa dari tokoh reformasi ini didasarkan pada analisa berdasarkan fakta.

Dewasa ini mahasiswa tengah dihegemoni oleh budaya dan gaya hidup kosmopolit dan nge-pop (pop culture) sebagai dampak dari arus globalisasi -mau tidak mau– akhirnya mempengaruhi mental dan cara berpikir mahasiswa terhadap segala persoalan. Bahkan kini mahasiswa terjebak dalam budaya hedonis dan pragmatis, orientasinya selalu diarahkan kepada kuliah an sich. Menganggap kegiatan organisasi ekstra kampus, macam HMI sebagai kegiatan rendah dan tidak penting lagi. Masya Allah. 
Disamping itu mahasiswa juga banyak terjebak pada anarkisme, tindakan a morals, kekerasan, hingga hilangnya idealisme karena hanya menjadi antek-antek Kabir (kapitalisme birokrat).

Fenomena ini menunjukkan ada gejala a historis dari mahasiswa. Sebagai individu dia tidak mafhum akan fungsi sosiologisnya sebagi agent of change. Tidak salah jika rakyat semakin pesimis dengan gerakan mahasiswa. 

Kondisi ini disebabkan karena faktor internal dan eksternal mahasiswa. Sudah menjadi realita kini bahwa kita tengah di”hajar” habis-habisan oleh paham neo-liberalisme. Fenomena sosial konteks dunia kemahasiswaan tersebut adalah salah satu dampaknya.

Tapi ditengah suasana carut marutnya gerakan mahasiswa kini, kita masih cukup berbahagia karena diantara sekian ribu mahasiswa yang hedonis masih terdapat mahasiswa yang mau berjuang untuk rakyat (aktifis).

Didalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan hipokrasi kini, masih mau berdiskusi mencari problem solving atas persoalan kebangsaan yang kian hari semakin parah. Melakukan advokasi, empowering, bahkan panas-panasan berdemonstrasi hanya untuk membela hak-hak rakyat. Padahal kawan-kawanya sedang asyik duduk santai dibawah pohon rindang bersama pacarnya sambil mendengarkan musik atau hanya lalu lalang sambil “cipika-cipiki”, naudzubillah. [ ]

02/02/09

HMI DAN BABAK PERJUANGAN BARU


Sebuah Catatan Kecil Kader Menyambut Milad 62 Tahun HMI



Oleh : Firman Wijaya



Bahagia HMI, mungkin itu yang bisa terungkap dalam hati setiap Insan Cita HMI. Karena hingga 5 Februari 2009 M organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane (Alm) ini masih bisa eksis dan berkarya untuk bangsa ini.

HMI sejak kelahirannya tahun 1947 telah melewati beberapa dinamika zaman. Dari keterlibatannya dalam revolusi kemerdekaan dengan turut dalam pengusiran penjajah, terlibat aktif dalam permusan identitas kebangsaan, korban konflik kepentingan politik menjelang kejatuhan Soekarno hingga menjadi korban represivitas Orde Baru yang memaksakan Asas Tunggal Pancasila (Djabir: 2006).

Namun kini elan vital HMI kembali dipertanyakan, terlepas itu HMI (Dipo) maupun HMI (MPO) tempat penulis menimba ilmu kini. Masihkah HMI menjadi organisasi perkaderan dan masihkan HMI berjuang untuk rakyat?. Lalu dihadapkan dengan kondisi keindonesiaan yang tengah dihegemoni oleh Neo Liberalisme, mampukah HMI menjawab tantangan zamannya ?.

Fase Transisi HMI Menuju Ridho Ilahi

Sebuah realitas sosial-politik pasca runtuhnya Rezim Orde Baru, HMI menghadapi zaman yang mengedepankan keterbukaan dan kompetisi. Suatu zaman yang menuntut setiap yang terlibat didalamnya memiliki karakter yang kuat.

Besarnya Ekspektasi dan idealita yang coba direkonstruksi oleh HMI (MPO) adalah karakter organisasi HMI yang menjadi ciri pembeda dengan organisasi ekstra kampus lain (termasuk dengan HMI lainnya).

Idealita keislaman dan kemanusiaan universal coba diusung secara organisatoris dan ditransformasi kedalam jiwa pada tiap-tiap kadernya.

Arah idealita HMI yang mapan dibangun ditengah suasana “menindas” pada masa Orde Baru, kini tengah mengalami dialektika; konteks struktur dan kultur HMI.

Sebagai sebuah cita tidak ada yang salah dengan idealita HMI, namun dalam format aplikasi HMI dalam sumbangsihnya konteks kebangsaan dan keindonesiaan kembali perlu semangat baru.

Fase ini adalah fase transisi HMI, dimana berbagai faktor internal dan eksternal organisasi tengah memaksa penafsiran dan penataan ulang atas berbagai komponen organisasi.

Kegelisahan melihat kebesaran organisasi lain atau bahkan HMI saudara kembarnya; berjalan seiring dengan ekspektasi yang tinggi dalam meraih cita HMI.

Fase transisi dapat dijadikan sumber kekuatan kreatif tapi fase transisi juga bisa menjadi krisis dan berkembang menjadi akut jika tidak berhasil diatasi.

Babak Perjuangan Baru HMI

Era post orde baru ini bukan tanpa masalah. Satu hal penting yang menjadi dampak Reformasi adalah terjadinya transformasi dari oligarchi corruption menjadi democratic corruption. Rekonsolidasi sisa-sisa orde baru dan militer kedalam tatanan demokrasi menunjukkan kaum reformis belum telah kalah dalam burgaining position.

Zaman ini mendeskripsikan kepada kita bahwa manusia semakin individualis hingga melupakan bahwa dia tidak hidup diruang hampa atau a historis. Persoalan lainnya adalah gerak laju masyarakat yang semakin terlindas mainstream liberal yang materialisme sebagai kerangka paradigmatiknya.

Dampak yang real dari fenomena itu adalah semakin sulit memisahkan kebenaran dari kepentingan politik dan ekonomi yang kini dihegemoni oleh paham baru yang disebut dengan neo liberalisme.

Generasi HMI kini dihadapkan pada zaman neo liberalisme, berbeda dengan generasi sebelumnya dimana negara sebagai suatu entitas politik melakukan kontrol yang tanpa batas. Suasana demokrasi yang semakin terbuka haruslah dimanfaatkan oleh HMI kini mengembangkan misi dan postur organisasi.

Negara yang dulu sangat intervensionis sehingga suasana poltik sosial yang sangat tidak nyaman untuk berbeda pemikiran dan haluan dengan rezim, wajar HMI memilih untuk melawan. Sehingga sikap politik HMI terhadap negara pada saat itu yang vis a vis.

Arus liberalisme kini membuat negara sebentar lagi hanya akan menjadi ”tukang stempel” an sich. Penguasa nyata atas politik, ekonomi dan sosial akan beralih ketangan-tangan para pemilik modal. Pintu gerbang era itu sekarang telah dibuka lebar-lebar dan masyarakat serta negara sudah dihalau dan digiring untuk masuk berduyun-duyun kedalam era itu (Dasopang: 2005).

Mengutip Bonnie Setiawan (2000), tercatat 5 prinsip dari Neo Liberalisme, diantaranya (1). Kekuasaan Pasar, (2).Memotong Subsidi,(3). Deregulasi, (4). Privatisasi, (5). Menghapus konsep public goods.

Akhir dari bencana ini adalah pemangkasan otoritas negara sebagai langkah strategis untuk lebih mudah mengendalikan negara dan akhirnya negara dirampas dari tangan rakyat. Ini merupakan skenario global untuk mengintegrasikan kekuasaan masyarakat pasar (baca: kapitalis)

Suasana demokrasi yang semakin terbuka haruslah dimanfaatkan oleh HMI kini untuk mengembangkan misi dan postur organisasi. Nostalgia HMI yang selalu vis a vis dengan negara harus sedikit digeser kearah yang paradigmatik bukan hanya reaktif. Karena kini negara termasuk obyek yang harus diadvokasi oleh HMI dalam melawan neo liberalisme.

Untuk HMI harus menjadi avant garde dalam meng-counter kekuatan kontra revolusioner yang akan mengkooptasi negara dalam menjalankan perannya untuk mensejahterakan rakyat .

Tema besar Gerakan Tamadduni yang kini menjadi icon dan concern Gerakan HMI menjadi sebuah jalan dalam mencapai masyarakat cita HMI.

Gerakan Tamadduni (civilizational movement) adalah ikhtiar dan ijtihad tingkat tinggi yang hendak mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran serta pergerakan sosial kearah terciptanya masyarakat yang berperadaban.

Pertama, ditingkat suprastruktur, gerakan ini mengandalkan adanya bangunan tauhid yang kokoh dibatin segenap anggota masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tidak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu.

Kedua, ditingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik maupun kebudayaan.

Ketiga, ditingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem, struktur dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan. Wallahu alam bissowab. [ ]