06/07/09

SIKAP HMI (MPO) TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2009

Pemilihan Presiden secara langsung yang akan diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 terlalu penting untuk dilewatkan begitu saja oleh seluruh komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa. Oleh karena itu perlu ada langkah nyata dari semua komponen bangsa untuk memastikan bahwa proses Pilpres 2009 ini berjalan dengan baik sesuai dengan azas-azas pemilu yang jujur dan adil dan menghasilkan kepemimpinan nasional yang memihak pada kepentingan dan aspirasi rakyat.

Terkait dengan Pilpres 2009, Himpunan Mahasiswa Islam (MPO) sebagai salah satu komponen bangsa menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Himpunan Mahasiswa Islam (MPO) sebagai organisasi mahasiswa tetap pada posisi netral, independen, dan tidak terlibat dalam aksi dukung mendukung calon presiden dan calon wakil presiden tertentu, atau mengarahkan aspirasi politiknya ke calon presiden dan wakil presiden tertentu. HMI (MPO) tetap pada khitahnya yaitu hanya berkepentingan untuk memastikan bahwa agenda-agenda rakyat diperjuangkan oleh seluruh calon presiden dan wakil presiden.

2. Mendesak kepada penyelenggara Pilpres yaitu KPU untuk menjaga sikap netralitasnya dan bekerja secara profesional. Menyangkut Daftar Pemilih Tetap (DPT) HMI (MPO) meminta kepada KPU untuk terus melakukan perbaikan dan memberikan kemudahan kepada warga negara untuk menggunakan hak pilihnya sehingga tidak terjadi pemberangusan hak politik rakyat.

3. Meminta kepada semua calon presiden dan wakil presiden dalam Pilpres tetap mengedepankan sikap negarawan, siap menang dan kalah, berkompetisi secara sehat, menghindari politik uang dan tidak melakukan politisasi agama dalam meraih dukungan.

4. Kepada semua calon presiden dan wakil presiden siapapun nantinya yang terpilih, HMI (MPO) meminta untuk menuntaskan agenda-agenda rakyat, yaitu:

a.Konsisten dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan memperkuat dan mempertahankan fungsi dan peran KPK melalui UU TIPIKOR yang tidak mengebiri kewenangan dan efektifitas kerja-kerja KPK.

b.Meninjauulang UU BHP yang berpotensi membawa sistem pendidikan nasional ke arah komersialisasi dan liberalisasi.

c. Menyelamatkan dan mendayagunakan asset-aset negara yang penting termasuk kekayaan sumberdaya alam untuk sebesar-sebesarnya bagi kemakmuran rakyat.

d. Menciptakan dan melakukan program-program nasional yang mendorong terwujudnya kemandirian ekonomi nasional khususnya dalam bidang energi dan pangan.

e. Menjaga martabat, harga diri dan kedaulatan bangsa dari segala intervensi asing yang merugikan kepentingan nasional baik langsung maupun tidak langsung.

f. Memperhatikan aspirasi umat Islam secara proporsional dengan tetap menjaga kebinekaan dan keutuhan negara kesatuan republik Indonesia.

5. Menyerukan kepada seluruh elemen gerakan mahasiswa untuk menyimak, dan mencatat seluruh janji-janji calon presiden dan wakil presiden selama masa kampanye baik yang terucap maupun yang tersurat yang pada nantinya akan ditagih ketika mereka terpilih menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia.

Billahittaufiq wal hidayah.

03/07/09

Karena Antineolib, Ketua Umum KAMMI Dikudeta


Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Rahman Thoha Budiarto dikudeta karena hadir dalam deklarasi yang mendukung Mega-Prabowo di Bumiwiyata, Depok, Rabu 10/06/09).

“Padahal, posisi saya saat itu sebagai undangan dan tidak mendukung salah satu pasangan. Saya juga tidak ikut kontrak politik, tapi kami menghargai calon yang menolak neoliberalisme,” kata alumnus Fakultas Teknik UGM itu.

Prabowo dan Megawati adalah calon yang selama ini mengkampanyekan anti neoliberalisme. Selama kepemimpinan mantan presiden BEM UGM itu, KAMMI berulang kali berdemo menolak Boediono. Padahal, sebagian besar alumnus KAMMI sekarang aktif di PKS yang jelas-jelas mendukung SBY. “Selama ini, KAMMI konsisten menolak liberalisme baik rezim mau pun cawapres. Saya menilai ini membuktikan KAMMI sudah diintervensi kekuatan luar, yakni dari capres tertentu yang anti dengan isu neolib,” ujar Amang, panggilan Rahman Thoha.

Amang sejatinya akan memimpin hingga akhir 2010. Dia terpilih dalam Muktamar VI KAMMI di Makassar pada November 2008. Dia telah diturunkan MPP KAMMI yang terdiri atas Hendro Susanto, Febriyansah, Taufik Amrullah, dan Budiana. Dengan alasan pelanggaran konstitusi, Hendro dan kawan-kawan mengumpulkan ketua-ketua KAMMI Daerah. Sebenarnya, para ketua KAMMI daerah itu akan mengikuti forum rapimnas yang direncanakan Amang. Namun, agenda tersebut dibelokkan menjadi muktamar luar biasa (MLB) yang diadakan di Graha Wisata Kuningan, Jakarta Selatan, mulai Selasa malam (16/6).
“Awalnya, saya pribadi merencanakan rapimnas KAMMI nasional, tapi kemudian peserta disabotase dengan dipaksa diarahkan ke Kuningan. Saya sebagai ketua umum resmi, tidak mengetahui agenda itu,” katanya.

Setelah lengser, Amang menyatakan tetap akan bergerak di luar KAMMI. “Ada ratusan teman-teman yang solid dengan gerakan antineolib. Kami akan buat jaringan aksi nasional mahasiswa untuk melawan neoliberalisme,” tandasnya. (JPN)

Muhammad Chozin Terpilih Sebagai Ketua Umum PB HMI



Muhammad Chozin Amrullah terpilih menjadi Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 2009-2011 dalam Kongres Ke-27 di Jogjakarta, Kamis 11 Juni 2009. Muhammad Chozin menggantikan Syahrul Effendi Dasopang yang menjabat Ketua Umum PB HMI Periode 2007-2009. Chozin terpilih secara demoktatis mengguguli calon lain. Proses pemunggutan suara berlangsung secara ketat antara Muhammad Chozin dengan Azwar Syafi’i. Kedunya berasal dari Cabang Jogjakarta. Muhammad Chozin mendapatkan 43 suara, Azwar Syafi’i mendatkan 40 suara, Media Arief Rizki mendapat 3 suara, dan Anthomi Chusairi mendapat 5 suara. Media Arief Rizki juga berasal dari Cabang Jogjakarta, sementara Anthomi Chusairi berasal dari Cabang Bekasi.

Muhammad Chozin Amrullah lahir di Pekalongan dan tumbuh dalam lingkungan Islam tradionalis yang kental di Jawa. Pendidikan dasarnya lebih banyak dihabiskan di lingkungan pesantren. Pendidikan tingginya diselesaikan di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta pada tahun 2004. Muhammad Chozin juga sempat mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Pada 2008 Muhammad Chozin menyelesaikan pendidikan S2-nya di Ohio University Amerika Serikat dengan konsentrasi di Internasional Studies.

ketua-pb-hmiMuhammad Chozin memulai kariernya di HMI sebagai Ketua Komisariat Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Setelah itu dia berturut-turut menjabat sebagai Koordinator Komisariat (Korkom) HMI di Universitas Gadjah Mada, Korps Pengkader Cabang (KPC) HMI Cabang Jogjakarta, Sekretaris Jendral HMI Cabang Jogjakarta, Pejabat Sementara Sekjend PB HMI periode 2003-2005, dan perwakilan HMI di Amerika Serikat.

Muhammad Chozin mengatakan HMI ke depan harus mampu berkontribusi dalam mewujudkan kemandirian bangsa. Menurut Chozin, kemandirian bangsa dapat diwujudkan melalui kemandirian membangun karakter building, terbebas dari jerat hutang, mengontrol masuknya modal asing, membangun ekonomi kerakyatan, serta memanfaatkan sumberdaya alam secara bertanggungjawab.

26/02/09

What ‘s wrong with BHP ?

Oleh:Helena Fariska Puteri*

Sejarah telah mencatat peranan Negara yang sangat nyata dalam melayani struktur ideology-dominant. Dan kini peranan tersebut kembali ditunjukkan kepada kita melalui proyek privatisasi kampus (kapitalisasi) yang dikemas dengan istilah BHP.

Dalam kasus ini Negara melalui instrumennya yaitu parlemen (DPR) akan bahkan sudah secara gradual melegitimasi perampokan legal oleh “Tuan Kecil dan Besar Pemodal” (Borjuasi Nasional dan Asing).

Sedang sejatinya sudah menjadi kewajiban Negara untuk membebaskan sektor pendidikan dari segala bentuk intervensi pasar (yang paling mendesak penggratisan biaya pendidikan.

Penerapan BHMN dibeberapa kampus dan hingga kini yang teridentifikasi oleh masyarakat yaitu penetapan UU BHP.

Konsepsi BHP tidak lebih dari manifestasi kepentingan ekspansif dari “tukang tanam modal” untuk memperluas jaringan bisnisnya disektor pendidikan. Dan tentu saja konsekuensi logis dari realitas tersebut adalah diterapkannya etika transaksional dalam pengertian komersialitas (pedagang dan pembeli) disegala bentuk relasi institusional dalam dunia pendidikan.

Namun alih-alih melakukan hal tersebut justru negara dalam hal pemerintah kembali menggadaikan sektor pendidikan pada penjajah generasi terbaru (neoliberalis/ investor/ tukang tanam modal). Kita tahu bagaimana bukan hanya pendidikan saja menjadi sektor yang dikorbankan untuk menjadi mangsa pemodal baik asing maupun lokal, melainkan lebih awal lagi pertambangan yang hingga kini porsi terbesar penguasaan asetnya terdapat ditangan modal asing dengan rakyat-termiskinkan-Indonesia (pihak yang paling mempunyai hak) hanya memperoleh bagian terkecil saja dari hasil produksi industri hilir tersebut.

Nasionalisasi (ambil alih de ngan berbagai strategi) per usahaan pertambangan asing adalah langkah paling maju yang dapat dilakukan oleh bangsa Indonesia yang menyatu padu. Tahapan tersebut harus kita lakukan untuk memberikan basis material bagi terciptanya kesejahteraan rakyat yang merata. Seluruh rakyat–termiskinkan-Indonesia bersama mahasiswa serukan : Nasionalisasi Perusahaan Pertambangan Asing Untuk Pendidikan Gratis !. [ ] wallahu alam bissowab.

* Staff Bidang Intelektual & Budaya HMI Komisariat UIKA Cabang Bogor Periode 2008-2009 M



07/02/09

Menggugat Kekisruhan Lemma Cartesian

Reintroduksi Pemikiran Prof. DR. Hidayat Nataatmadja (Alm)

Oleh : Firman Wijaya ¹

Ketika mendengar nama Rene Des Cartes, alam sadar kita pasti teringat akan diktum yang berbunyi “cogito ergu sum” yang berarti “saya berpikir, karena itu saya ada”. Tapi apakah benar bahwa eksistensi manusia selalu disertai dengan aktifitas berpikir yang didiktumkan Des Cartes tersebut atau mungkin kontra produktif dengan diktum tersebut.

Berpikir merupakan fi’ il (kata kerja) yang mustahil dipisahkan dengan fa’ il (orangnya) . Tapi disisi lain “ilmu” itu merujuk kepada “kata benda” yang secara ontologis dapat dipisahkan dari fa’ il. Sehingga “ilmu” itu dapat dijadikan “obyek” sebagai syarat mutlak bagi konsep-konsep science. Walaupun begitu “ilmu berpikir” secara epistemologis tidak ada yang kokoh berpijak pada komponen paradigma objektifitas.

Tulisan ini mencoba melakukan reintroduksi pemikiran Prof. Dr. Hidayat Nataatmadja, seorang ilmuwan dengan pemikiran yang unik cenderung "nyleneh", mungkin satu-satunya ilmuwan dengan pemikiran yang holistik. Beliau berusaha menggabungkan ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, dengan ilmu agama, khususnya Islam. Di tengah ”gembar-gembor” unifikasi dan holistikasi ilmu pengetahuan, pemikiran beliau sudah turut andil sejak awal.

Paradigma Transenden Vis a Vis Paradigma Sekuler

Paradigma merupakan dasar keilmuan -satu oktaf lebih tinggi dari ideologi. Sebenarnya paradigma bisa mengangkat makna ideologi ketempat terang, sehingga ilmuan bisa secara tuntas berbicara me- ngenai ideologi.

Pasca Thomas S. Kuhn berbicara mengenai paradigma, Barat merasa sudah menemukan alternative ideologi sehingga mereka bisa berbicara mengenai dunia post-ideology bahkan dunia post-modernism. Tentu saja paradigma yang dikonstruksi adalah paradigma yang sekuler.

Segala sesuatu yang terkait dengan paradigma transenden pasti berkaitan dengan iman, yakni keyakinan tertinggi yang dipandang benar dengan sendirinya sejauh akal manusia sanggup menjangkau kebenaran yang haq yaitu Allah SWT an sich (Nataatmadja: 1997).

Dalam term barat, “iman” dikenal dengan “dogma”. Aktifitas berpikir secara ontologis tidak bisa dipisahkan dengan dogma, termasuk berpikir “scientific” barat. Mungkin saja scientis tidak beriman tetapi mereka pasti berdogma.

Sudah jelas bahwa berbicara mengenai iman tidak ada rujukan absolute kecuali Al Qur’an dan Sunnah sehingga paradigma yang coba direkonstruksi berada dalam wawasan internal dienul islam.

Menurut Hidayat Nataatmadja (1997) ajaib jika kaum intelektual muslim menggunakan term ilmu berpikir tanpa secara eksplisit merujuk ke sumber keilmuan yang haq, yakni Al Qur’an dan Sunnah.

Mengutip term Thomas S. Kuhn–Revolusi Paradigmatis– sudah saatnya kita sebagai muslim untuk merubah total paradigma yang sekuler dengan paradigma transenden sebagai mind-set kontemporer.

Kekisruhan Lemma Cartesian

Rene Des Cartes dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. dilahirkan di La Haye, Touraine -Perancis pada 1596 dan wafat di Stockholm, Swedia pada 1650. Proses Islamisasi ilmu akan koheren dengan jalan pikiran Des Cartes, karena dialah yang meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi aliran Rasionalisme.


Pemikiran Rene Des Cartes tersebut tertuang dalam sebuah lemma yang sangat populer dan yang akan kita ”gugat” secara transenden.

Lemma adalah hukum-hukum ilmu pengetahuan yang keabsahannya sudah terbukti secara akurat. Tetapi kalau lemma itu secara eksplisit diterapkan maka konstruksi iptek yang kita kenal akan hancur berantakan (Nataatmadja: 1997).

Terdapat dua lemma cartesian yang akan kita soroti, yaitu :
1. Berpikir Mulai Dari Ragu;
2. Cogito Ergo Sum (Saya berpikir karena itu saya ada)

Alur pemikiran Des Cartes masih berbentuk lemma yang ke-shahihannya tidak diragukan tetapi implikasinya dibiarkan ”ngambang” sebagai lemma. ”Berpikir mulai dari ragu” menimbulkan sebuah tanya: ”apa yang kita ragukan”. Jawabannya adalah yang diragukan adalah ”keyakinan”. Menurut Thomas S. Kuhn, paradigma itu ”landasan dogmatika”, sehingga didapat ”berpikir mulai dari keyakinan sesuatu”. Sepintas memang ada pertentangan antara Des Cartes dengan Kuhn.

Kalimat ”saya berpikir” yang didiktumkan Des Cartes sebenarnya sangat kurang dimengerti oleh para penganutnya yang juga merupakan ilmuan barat kontemporer.

Berpikir dalam konsep Des Cartes adalah ”berpikir intransitif” (berpikir tanpa obyek). Sedangkan berpikir dalam bahasa science selalu ”berpikir obyektif” (berpikir transitif).

Dalam bahasa Al Qur’an ”berpikir intransitif” itu ”dzikir”. Akal disini diarahkan ke dunia ”noumenial kantian”. Karena itu seharusnya diktum Des Cartes dirubah menjadi ”Saya dzikir karena itu saya ada”.

Science dewasa ini tidak mengenal berpikir intransitif, sehingga jika dikaitkan dengan diktum Des Cartes, dimana objeknya kita misalkan ”anjing” maka akan menjadi, ”saya berpikir mengenai anjing, karena itu anjing ada dan karena saya anjing”.

Itulah yang akan didapat jika menggunakan alas berpikir transitif an sich, yang ada hanya menimbulkan musibah yaitu melekatnya obyek pada pikiran subyek.

Ungkapan ”Ana Al haq” tentunya akan terjadi kalau Allah SWT dijadikan objek pemikiran. Namun Allah SWT tidak dapat tersentuh oleh pikiran manusia, karena satu-satunya thariqat mengenal Allah SWT adalah ”Dzikrullah” an sich.

Dengan pertolongan Al Huda (petunjuk Allah SWT) kita mampu mengkritisi kekisruhan lemma cartesian dan dapat secara tajam melihat dimana kisruhnya iptek dewasa ini.

Dengan instrumen Al Qur’an dan Sunnah sebagai basis paradigma transenden kita siap mencari ilmu pengetahuan dan teknologi alternatif yang bisa membebaskan umat dari kejahiliyah berpikir dengan konsep ”aqidah berpikir”. [ ] wallahu’alam bissowab.


¹ Sekretaris Umum HMI Badan Koordinasi Indonesia Bagian Barat Periode 2009 M.

Mahasiswa Oh .. Mahasiswa (Diagnosa Gerakan Mahasiswa Post-Reformasi 1998 )

Bogor I AA, “ lebih baik terasing daripada menyerah kepada kemunafikan ”. Itulah yang pernah dituliskan Soe Hok Gie dibuku hariannya, yang dipertengahan 1980-an diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Catatan Sang Demonstran” yang diterbitkan LP3ES.

Mungkin itulah sekilas sosok mahasiswa yang idealis dalam melakukan perjuangannya. Hanya rakyat yang menjadi tujuan pengabdiannya. Tapi pertanyaan kritis wajib ditanyakan, apakah idealisme mahasiswa masih terjaga ?.

Pasca reformasi tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa semakin mengalami degradasi, tidak visioner, sektarian, mudah terprovokasi, temporer, inkonsistensi, bahkan cenderung terjebak pada vested interest penguasa (pragmatisme). 

Amien Rais dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa gerakan mahasiswa kini sudah “mati suri”. Tentu thesa dari tokoh reformasi ini didasarkan pada analisa berdasarkan fakta.

Dewasa ini mahasiswa tengah dihegemoni oleh budaya dan gaya hidup kosmopolit dan nge-pop (pop culture) sebagai dampak dari arus globalisasi -mau tidak mau– akhirnya mempengaruhi mental dan cara berpikir mahasiswa terhadap segala persoalan. Bahkan kini mahasiswa terjebak dalam budaya hedonis dan pragmatis, orientasinya selalu diarahkan kepada kuliah an sich. Menganggap kegiatan organisasi ekstra kampus, macam HMI sebagai kegiatan rendah dan tidak penting lagi. Masya Allah. 
Disamping itu mahasiswa juga banyak terjebak pada anarkisme, tindakan a morals, kekerasan, hingga hilangnya idealisme karena hanya menjadi antek-antek Kabir (kapitalisme birokrat).

Fenomena ini menunjukkan ada gejala a historis dari mahasiswa. Sebagai individu dia tidak mafhum akan fungsi sosiologisnya sebagi agent of change. Tidak salah jika rakyat semakin pesimis dengan gerakan mahasiswa. 

Kondisi ini disebabkan karena faktor internal dan eksternal mahasiswa. Sudah menjadi realita kini bahwa kita tengah di”hajar” habis-habisan oleh paham neo-liberalisme. Fenomena sosial konteks dunia kemahasiswaan tersebut adalah salah satu dampaknya.

Tapi ditengah suasana carut marutnya gerakan mahasiswa kini, kita masih cukup berbahagia karena diantara sekian ribu mahasiswa yang hedonis masih terdapat mahasiswa yang mau berjuang untuk rakyat (aktifis).

Didalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan hipokrasi kini, masih mau berdiskusi mencari problem solving atas persoalan kebangsaan yang kian hari semakin parah. Melakukan advokasi, empowering, bahkan panas-panasan berdemonstrasi hanya untuk membela hak-hak rakyat. Padahal kawan-kawanya sedang asyik duduk santai dibawah pohon rindang bersama pacarnya sambil mendengarkan musik atau hanya lalu lalang sambil “cipika-cipiki”, naudzubillah. [ ]

02/02/09

HMI DAN BABAK PERJUANGAN BARU


Sebuah Catatan Kecil Kader Menyambut Milad 62 Tahun HMI



Oleh : Firman Wijaya



Bahagia HMI, mungkin itu yang bisa terungkap dalam hati setiap Insan Cita HMI. Karena hingga 5 Februari 2009 M organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane (Alm) ini masih bisa eksis dan berkarya untuk bangsa ini.

HMI sejak kelahirannya tahun 1947 telah melewati beberapa dinamika zaman. Dari keterlibatannya dalam revolusi kemerdekaan dengan turut dalam pengusiran penjajah, terlibat aktif dalam permusan identitas kebangsaan, korban konflik kepentingan politik menjelang kejatuhan Soekarno hingga menjadi korban represivitas Orde Baru yang memaksakan Asas Tunggal Pancasila (Djabir: 2006).

Namun kini elan vital HMI kembali dipertanyakan, terlepas itu HMI (Dipo) maupun HMI (MPO) tempat penulis menimba ilmu kini. Masihkah HMI menjadi organisasi perkaderan dan masihkan HMI berjuang untuk rakyat?. Lalu dihadapkan dengan kondisi keindonesiaan yang tengah dihegemoni oleh Neo Liberalisme, mampukah HMI menjawab tantangan zamannya ?.

Fase Transisi HMI Menuju Ridho Ilahi

Sebuah realitas sosial-politik pasca runtuhnya Rezim Orde Baru, HMI menghadapi zaman yang mengedepankan keterbukaan dan kompetisi. Suatu zaman yang menuntut setiap yang terlibat didalamnya memiliki karakter yang kuat.

Besarnya Ekspektasi dan idealita yang coba direkonstruksi oleh HMI (MPO) adalah karakter organisasi HMI yang menjadi ciri pembeda dengan organisasi ekstra kampus lain (termasuk dengan HMI lainnya).

Idealita keislaman dan kemanusiaan universal coba diusung secara organisatoris dan ditransformasi kedalam jiwa pada tiap-tiap kadernya.

Arah idealita HMI yang mapan dibangun ditengah suasana “menindas” pada masa Orde Baru, kini tengah mengalami dialektika; konteks struktur dan kultur HMI.

Sebagai sebuah cita tidak ada yang salah dengan idealita HMI, namun dalam format aplikasi HMI dalam sumbangsihnya konteks kebangsaan dan keindonesiaan kembali perlu semangat baru.

Fase ini adalah fase transisi HMI, dimana berbagai faktor internal dan eksternal organisasi tengah memaksa penafsiran dan penataan ulang atas berbagai komponen organisasi.

Kegelisahan melihat kebesaran organisasi lain atau bahkan HMI saudara kembarnya; berjalan seiring dengan ekspektasi yang tinggi dalam meraih cita HMI.

Fase transisi dapat dijadikan sumber kekuatan kreatif tapi fase transisi juga bisa menjadi krisis dan berkembang menjadi akut jika tidak berhasil diatasi.

Babak Perjuangan Baru HMI

Era post orde baru ini bukan tanpa masalah. Satu hal penting yang menjadi dampak Reformasi adalah terjadinya transformasi dari oligarchi corruption menjadi democratic corruption. Rekonsolidasi sisa-sisa orde baru dan militer kedalam tatanan demokrasi menunjukkan kaum reformis belum telah kalah dalam burgaining position.

Zaman ini mendeskripsikan kepada kita bahwa manusia semakin individualis hingga melupakan bahwa dia tidak hidup diruang hampa atau a historis. Persoalan lainnya adalah gerak laju masyarakat yang semakin terlindas mainstream liberal yang materialisme sebagai kerangka paradigmatiknya.

Dampak yang real dari fenomena itu adalah semakin sulit memisahkan kebenaran dari kepentingan politik dan ekonomi yang kini dihegemoni oleh paham baru yang disebut dengan neo liberalisme.

Generasi HMI kini dihadapkan pada zaman neo liberalisme, berbeda dengan generasi sebelumnya dimana negara sebagai suatu entitas politik melakukan kontrol yang tanpa batas. Suasana demokrasi yang semakin terbuka haruslah dimanfaatkan oleh HMI kini mengembangkan misi dan postur organisasi.

Negara yang dulu sangat intervensionis sehingga suasana poltik sosial yang sangat tidak nyaman untuk berbeda pemikiran dan haluan dengan rezim, wajar HMI memilih untuk melawan. Sehingga sikap politik HMI terhadap negara pada saat itu yang vis a vis.

Arus liberalisme kini membuat negara sebentar lagi hanya akan menjadi ”tukang stempel” an sich. Penguasa nyata atas politik, ekonomi dan sosial akan beralih ketangan-tangan para pemilik modal. Pintu gerbang era itu sekarang telah dibuka lebar-lebar dan masyarakat serta negara sudah dihalau dan digiring untuk masuk berduyun-duyun kedalam era itu (Dasopang: 2005).

Mengutip Bonnie Setiawan (2000), tercatat 5 prinsip dari Neo Liberalisme, diantaranya (1). Kekuasaan Pasar, (2).Memotong Subsidi,(3). Deregulasi, (4). Privatisasi, (5). Menghapus konsep public goods.

Akhir dari bencana ini adalah pemangkasan otoritas negara sebagai langkah strategis untuk lebih mudah mengendalikan negara dan akhirnya negara dirampas dari tangan rakyat. Ini merupakan skenario global untuk mengintegrasikan kekuasaan masyarakat pasar (baca: kapitalis)

Suasana demokrasi yang semakin terbuka haruslah dimanfaatkan oleh HMI kini untuk mengembangkan misi dan postur organisasi. Nostalgia HMI yang selalu vis a vis dengan negara harus sedikit digeser kearah yang paradigmatik bukan hanya reaktif. Karena kini negara termasuk obyek yang harus diadvokasi oleh HMI dalam melawan neo liberalisme.

Untuk HMI harus menjadi avant garde dalam meng-counter kekuatan kontra revolusioner yang akan mengkooptasi negara dalam menjalankan perannya untuk mensejahterakan rakyat .

Tema besar Gerakan Tamadduni yang kini menjadi icon dan concern Gerakan HMI menjadi sebuah jalan dalam mencapai masyarakat cita HMI.

Gerakan Tamadduni (civilizational movement) adalah ikhtiar dan ijtihad tingkat tinggi yang hendak mendorong seluruh kekuatan kognitif, afektif, tenaga dan pikiran serta pergerakan sosial kearah terciptanya masyarakat yang berperadaban.

Pertama, ditingkat suprastruktur, gerakan ini mengandalkan adanya bangunan tauhid yang kokoh dibatin segenap anggota masyarakat. Refleksi atas tauhid baik oleh individu maupun masyarakat adalah imperasi gerakan yang tidak bisa dihentikan oleh bergantinya tempat dan waktu.

Kedua, ditingkat kultur, ia juga meniscayakan adanya kondisi masyarakat yang mempunyai ketinggian dan kemerataan tingkat keilmuan (literate society), kompetensi dan kapasitas serta inisiatif dan partisipasi baik di bidang ekonomi, politik maupun kebudayaan.

Ketiga, ditingkat struktur, gerakan tamadduni mempunyai tugas untuk memperbaiki sistem, struktur dan performa kenegaraan agar memenuhi hak-hak masyarakat yang biasanya selalu menjadi pihak yang dikalahkan dan dilemahkan. Wallahu alam bissowab. [ ]

18/01/09

Islam itu Kiri dan Kiri itu Seksi


Oleh : Firman Wijaya *

“ Hendaknya ada diantara kamu sekelompok orang yang menyeru ke jalan pembebasan, menolak kepalsuan” (QS. Al Imran: 104)

Aneh, bahkan lucu bila ada mahasiswa apalagi yang mengaku aktifis pergerakan sangat alergi atau phobia disebut kiri. Karena yang phobia dengan term kiri itu hanya Orde Baru diatas dunia ini.

Memang seringkali term kiri selalu dikaitkan kepada mereka yang berideologikan materialisme-sekuler, sebut saja kaum komunis. Tapi pertanyaannya apakah benar kiri itu hanya political-claim untuk kaum komunis an sich.

Sebagai mahasiswa, das sollen memiliki tingkat kekritisan yang massive dalam mensikapi paradigma absurd atau “keblinger” ini, karena dianggap memiliki tingkat ketinggian dan kemerataan keilmuan (literate society). Kecuali kalau antum mahasiswa-mahasiswa “bodoh” atau mengutip term Mas Krisna-pelacur organisasi, atau aktifis organisasi warisan orde baru, sangat di mafhum.

Kiri Islam: Menuju Ridho Ilahi

Islam Kiri, mungkin sebagian mahasiswa wabil khusus yang mengaku dari gerakan Islam pasti kebingungan, dan balik tanya Islam ko’ kiri ?

Sebenarnya istilah “kiri-kanan” itu muncul pada abad ke-18 di Perancis. Istilah kiri ini untuk mengidentifikasi mereka yang kritis dan melawan kebijakan Rezim Monarki saat itu, sedangkan kanan adalah mereka yang mapan dan mendukung rezim. Kenapa disebut “kiri”, hal itu dikarenakan mereka yang anti rezim selalu diduduk disebelah kiri dalam setiap musyawarah.

Gerakan kiri Islam menemukan pijakan dan memiliki akar dalam khazanah intelektual Islam. Kenapa Islam melawan kemapanan keduniawian, karena zat yang paling mapan itu hanya Allah SWT, tidak zat yang paling mapan selain Dia, ini bersifat absolute (lihat QS. Al Ikhlas: 1).

Harus dibedakan gerakan kiri yang lahir dari materialisme (a non genesis theory), yaitu kiri yang dapat dibedakan menjadi dua, kiri-marxian disebut komunisme dan kiri non Marxian, berwajah populisme. Sedangan gerakan yang menjadi pijakan kiri Islam adalah spiritualisme (a genesis theory). Disini jelas bahwa kiri Islam sangat menyadari keterlibatan agama dalam aksi perlawanan terhadap rezim tidak seperti komunisme. Agama yang dianggap candu oleh Karl Marx sebenarnya merupakan ladang nilai-nilai yang secara konseptual memberikan pijakan gerakan pembebasan dan humanisasi.

Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu ‘Alaihisalam, didalam Nahjul Balaghah bisa dijadikan literature pijakan bahwa Islam itu kiri atau melawan kemapanan. Rakyat dimata Imam Ali AS., memang menjadi sentral kepeduliannya sebagai khalifah. Ia menegaskan bahwa :

“Sungguh besar kesengsaraan orang kelak dihadapan Allah menjadi lawan kaum yang dicengkeram kepapaan, kaum fakir miskin dan pengemis, orang yang tertindas, yang terjerumus hutang dan pengungsi yang terlunta-lunta dari tempat kedamainnya”.

Selanjutnya Hasan Hanafi dalam al yassar al Islami, menegaskan bahwa gerakan kiri Islam memiliki derivasi membebaskan, mencerahkan, kritis, plural, emansipatoris, dan demokratis. Dalam Q.S. Al Qashas: 5 secara tegas Allah SWT. berfirman bahwa Allah menjanjikan alam dunia ini untuk orang-orang tertindas.

Kiri itu Seksi: Ideologi Operatif Melawan Rezim Despotis

Gerakan perlawanan terhadap rezim despotis bertujuan, meminjam term Marx-alienasi-, adalah mengeluarkan manusia dari proses alienasi dalam kehidupan.

Ashgar Ali Engineer menegaskan bahwa gerakan kiri Islam berangkat dari filosofis membela Tuhan menuju membela manusia. Disini jelas bahwa agama tidak hanya diletakkan pada konteks metafisika-filosofis, tapi juga digunakan sebagai pisau analisa kritis realitas sosial yang eksis. Kesadaran beragama seperti ini kemudian muncul dengan istilah liberation theology.

Kesimpulannya jika kita merasa sebagai muslim tapi belum mau membela saudara-saudaranya yang lemah dan dipinggirkan secara sistemik lebih baik jangan mengaku muslim. Selanjutnya kalau mahasiswa Islam tidak mau melawan kemapanan rezim atau malah jadi “anjing-anjing” kapitalis-birokrat (kabir) lebih baik pakai “rok mini”.

Kader HMI MPO haruslah menjadi mujahid pembela panji-panji Islam. Ideologi “melawan atau diam tertindas” haruslah direproduksi secara massif dan progresif-revolusioner dalam meng-counter hegemoni baik di kampus, lokal, maupun rezim nasional saat ini. HMI MPO lahir dari suasana yang menindas mahasiswa saat itu, Rezim Orba. Sehingga kader HMI MPO Melawan sebagai suatu kewajiban kifayah.

Gerakan kiri itu seksi karena selalu anti kemapanan dan progresif dalam melawan kezaliman. Mahasiswa ‘nggak kiri lebih baik kelaut aje. Wallahu a’ bissowab [ ]

* Mantan Ketua Umum HMI Cabang Bogor Periode 2006-2007 M